Laman

Jumat, 18 Januari 2019

Penyebab Melambatnya Pertumbuhan Industri Seluler

Penyebab Melambatnya Pertumbuhan Industri Seluler

INILAHCOM, Jakarta - Kehadiran jaringan 4G membuat ekosistem DNA (device, network, application) semakin berkembang di Indonesia. Namun ditengah meningkatnya pengguna smartphone yang mendorong lonjakan konsumsi data, industri selular sesungguhnya terbilang rapuh. 

Tengok saja, hingga semester pertama 2018,  kinerja operator terus melorot. Bahkan sudah mengalami 'negative growth', baik dari sisi pendapatan (-12,3 persen) dan juga EBITDA (-24,3 persen).

Industri telekomunikasi Indonesia pun diproyeksi tumbuh negatif 6,4 persen pada 2018. Penurunan ini sebenarnya terbilang cepat.

Pasalnya, pada 2016, industri selular masih tumbuh sebesar 10 persen. Namun, rendahnya tarif data, tak bisa mengimbangi turunnya layanan suara dan SMS. Layanan basic itu, semakin kurang diminati karena pelanggan beralih ke layanan OTT.

Alhasil, pertumbuhan menciut menjadi 9 persen di akhir 2017.

Tumbuhnya konsumsi data masyarakat yang mengakses layanan OTT ini pun dianggap sebagai beban industri karena harga paket internet yang terlalu murah.

Rendahnya tarif data yang dibarengi dengan dampak dari kebijakan registrasi pra bayar, dan kondisi ekonomi makro yang tak kondusif, seperti kurs rupiah yang masih tertekan terhadap dollar pun membuat operator menutup 2018 dengan kinerja yang kurang menggembirakan.

Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) mencatat, rata-rata penggunaan data pada 2014 hanya 0,3GB per bulan. Angka itu tumbuh menjadi 3,5GB per bulan pada 2018. Tahun ini, estimasi konsumsi data di Indonesia mencapai 4,8GB dan meningkat terus menjadi 6GB pada 2021.

"Harga layanan data Indonesia yang termurah di dunia. Hanya sedikit di atas India," ujar Ketua ATSI Ririek Adriansyah, dalam acara Selular Business Forum, di Jakarta, baru-baru ini.

Padahal untuk memenuhi permintaan layanan data yang naik 3,5 kali lipat dalam lima tahun ke depan, dikatakan Ririek, perlu tambahan modal.

"Kami perlu investasi untuk menambah kapasitas," ujar dia.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Kristiono juga menyebutkan bahwa harga layanan data di Indonesia justru menurun dari Rp1 per KiloByte pada 2010 menjadi Rp0,015 per KiloByte pada 2018. 

"Penurunan harga mencapai 40 persen per MegaByte, inilah yang jadi masalahnya," ujar dia.

Sementara, murahnya tarif layanan data ini, menurut Kristiono, justru menguntungkan perusahaan digital yang penggunaan produknya lebih banyak menggunakan kuota data.

"E-commerce tumbuh di tengah infrastrukturnya, yakni telekomunikasi yang menurun. Jadi seperti benalu saja," katanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar