INILAHCOM, Houston - Sebuah ide gila dicetuskan oleh Robert Nelson dan koleganya dari Planetary Science Institute. Mereka mengusulkan rencana menaburkan sejumlah besar garam di atmosfer untuk mencegah perubahan iklim.
Mengutip Live Sciences, ide tersebut mereka presentasikan dalam acara 49th Lunar and Planetary Science Conference di Houston, Texas, AS, baru-baru ini.
Dalam laporannya, mereka mengutip bahwa para peneliti pernah menyebut garam adalah zat yang sangat reflektif, ini berarti garam berpotensi memantulkan sinar matahari ke angkasa luar. Dengan kata lain, menaburkan garam ke atmosfer diharapkan bisa mendinginkan Bumi.
Ide garam di atmosfer ini, menurut mereka, merupakan salah satu upaya termutakhir yang bisa mengimbangi perubahan iklim.
Selama ini, manusia dianggap gagal secara signifikan menurunkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, yang meningkatkan suhu Bumi.
Idenya adalah menaburkan garam ke troposfer atas, lapisan atmosfer di mana kebanyakan pesawat komersial terbang saat kondisi awan kurang bersahabat.
Sayangnya, ide ini diragukan oleh sejumlah ilmuwan iklim AS. Itu karena ide tersebut merupakan geo-engineering atau usaha skala besar yang disengaja untuk mengubah lingkungan sebagai sarana melawan perubahan iklim.
Meski demikian, beberapa ilmuwan lain menyambut baik ide tersebut. Salah satunya Michael Mann, seorang profesor meteorologi terkemuka di Pennsylvania State University.
"Ini ide yang menaik. Namun, sebagian besar skema ini, meskipun berpotensi menarik di permukaan, terlihat penuh dengan potensi konsekuensi yang tidak diinginkan ketika Anda melihatnya secara lebih rinci," ujar Prof Mann.
Sebenarnya, ide ini bukanlah geo-engineering pertama yang diusulkan untuk mengatasi perubahan iklim. Sebelumnya, para ilmuwan lain mempertimbangkan untuk menyuntikkan partikel kecil yang dikenal sebagai aerosol ke stratosfer, wilayah di atas toposfer.
Partikel aerosol tersebut diyakini juga seperti garam dapur, bertindak untuk mendinginkan Bumi. Hal ini pernah terjadi saat gunung berapi di Islandia meletus pada tahun 939 hingga 940 sebelum masehi, tapi tentu saja dengan aerosol alami.
Fenomena ini menyebabkan salah satu musim panas terdingin yang dialami Nothern Hemisphere dalam 1.500 tahun. Sayangnya, ide menggunakan aerosol ini juga ditentang beberapa pihak.
Alasannya adalah penggunaan aerosol seperti debu berlian atau alumina bisa berbahaya bagi lapisan ozon bumi dan kesehatan manusia.
Namun, pada 2015 ketika mempelajari garam yang menguap pada permukaan badan tata surya, Nelson menyadari sesuatu. Dia menemukan bahwa garam bisa menjadi kemungkinan sebagai pengganti aerosol.
Selain itu, garam lebih reflektif daripada alumina dan tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Apabila digiling menjadi partikel kecil dan dilepaskan ke troposfer atas, garam tidak akan menghalangi panas inframerah yang dilepaskan Bumi.
Menurut Nelson, hal ini malah akan membantu Bumi untuk menjadi lebih dingin. Meski sekilas ide ini sangat bagus, tapi proposal pelaksanaannya masih dalam tahap awal.
"Sulit untuk menekankan cukup banyak penelitian lebih lanjut yang diperlukan untuk memverifikasi penerapannya," ujar Kelly McCusker, ilmuwan iklim di Rhodium Group, perusahaan riset independen di New York.
"Selain itu, refelektansi aram sejauh ini memang telah diukur di laboratorium, tapi kita tidak tahu bagaimana sifatnya akan berubah saat pengiriman ke troposfer atas," imbuh McCusker.
Dia menambahkan, berapa banyak garam yang diperlukan untuk mengurangi suhu pun tidak jelas. Meski begitu, McCusker dan Prof Mann sepakat bahwa cara terbaik untuk mengatasi pemanasan suhu Bumi adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
"Satu-satunya cara yang aman untuk mengatasi perubahan iklim adalah mengatasi akar penyebabnya, yaitu ketergantungan kita yang berkelanjutan pada pembakaran bahan bakar fosil," kata Prof Mann.
Sabtu, 31 Maret 2018
Ilmuwan Usulkan Tabur Garam di Atmosfer
Ilmuwan Usulkan Tabur Garam di Atmosfer
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar