Laman

Kamis, 27 Desember 2018

Indonesia Merdeka Sinyal 2020 Terganjal Dana USO

Indonesia Merdeka Sinyal 2020 Terganjal Dana USO

INILAHCOM, Jakarta -  Badan Aksesibiitas Telekomunikasi dan Informatika (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika mencanangkan program Merdeka Sinyal pada 2020 mengingat akses telekomunikasi kerap menjadi permasalahan yang masih dihadapi Indonesia. 

Pada pelaksanaanya disebut mengalami kendala dana Universal Service Obligation (USO) saat ini yang masih kurang untuk memerdekakan Indonesia dari sinyal 100 persen. Terlebih untuk membangun Base Transceiver Station (BTS) di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T) yang tidak mungkin digarap operator seluler.

Hal tersebut diungkap Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Anang Latif.

Dana USO sendiri berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 17 tahun 2016 dipungut dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi sebesar 1,25 persen.

"Untuk memerdekakan sinyal 100 persen rasanya tidak mungkin, kalau sumbangan dari operator hanya 1,25 persen dari pendapatan mereka," kata Anang, saat acara diskusi 'Merdeka Sinyal 2020' di Jakarta, Kamis (27/12/2018).

"Sulit mewujudkan kalau cuma 1,25 persen untuk membangun infrastruktur di 5.000 desa lebih," imbuhnya.

Apalagi kata dia, kebutuhan akan peningkatan sinyal di wilayah yang sudah tersentuh program USO terus meningkat. Seperti saat awal sinyal masuk di lokasi 3T itu adalah 2G. Namun, masyarakat di sekitar wilayah itu berharap bisa menggunakan internet. Maka, mau tidak mau dari sisi teknologi harus ditingkatkan menjadi 4G.

"Butuh biaya yang besar juga," jelasnya.

Anang pun menggambarkan betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya hanya untuk 1 BTS 2G. Kata dia, kira-kira dana yang harus dikeluarkan berkisar Rp80 juta per bulan. Jika di-upgrade menjadi 4G, maka dibutuhkan setidaknya Rp100 juta untuk 1 BTS.

Sejauh ini diketahui BAKTI melalui program USO-nya itu telah membangun 800 BTS dari tahun 2015 sampai 2018 di wilayah 3T. Menurut Anang untuk bisa menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada saat ini, minimal sumbangan untuk USO bisa ditambah dua atau tiga kali lipat. Saat ini, dana USO yang didapatkan Rp2,5 triliun.

"Kebutuhan kita mungkin di angka Rp5-6 triliun," terang dia.

Meski kurang modal dalam mengejar pembangunan infrastruktur, BAKTI mengaku tidak akan meminta suntikkan dana dari operator. Sebaliknya, mereka melirik dana 10 persen dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) Frekuensi Radio meski perlu izin dari Kementerian Keuangan terlebih dahulu.

Anang melanjutkan, karena membangun infrastuktur, sejatinya BAKTI bukan operator. Namun bertugas mengelola dana.

"Kalau bisa di luar industri telekomunikasi sajalah kalau mau ada tambahan dana USO. Kita tahu industrinya lagi suffer," jelasnya.

Sementara itu, anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih menegaskan, peran BAKTI yang tadinya pelaksana USO menjadi semi penyelenggara telekomunikasi harus dibuat aturan bagaimana interaksinya dengan operator yang ada.

"Jangan sampai dalam menjalankan tugasnya melakukan pemerataan akses telekomunikasi terjadi mal administrasi," ujarnya.

Ombusdman, dikatakan Alamsyah, akan memantau dan mengawal semua. Keputusan baik skema bismis maupun tata cara pperasional yang di hasilkan Bhakti, jangan sampai ada mal-administrasi apalagi berbenturan dengan operasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar