Laman

Kamis, 25 Januari 2018

Ilmuwan Kembangkan AI untuk Prediksi Kematian

Ilmuwan Kembangkan AI untuk Prediksi Kematian

INILAHCOM, AS - Para peneliti dari Stanford University di AS tengah mengembangkan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan untuk memprediksi kapan seorang pasien akan meninggal.

Cara ini disebut-sebut bisa memprediksi kapan seseorang akan meninggal dalam waktu tiga bulan hingga satu tahun. Hal ini bertujuan untuk membantu dokter dalam merekomendasikan perawatan paliatif (perawatan untuk pasien yang memasuki stadium akhir).

Para peneliti menyebut hal ini bukan bertujuan untuk meniru kisah seram dalam fiksi ilmiah, melainkan untuk membantu memperbaiki kehidupan para pasien.

Sebuah penelitian sebelumnya menyebut bahwa 80 persen orang di AS ingin menghabiskan hari akhirnya di rumah mereka yang nyaman. Sayangnya, hanya 20 persen yang dapat melakukannya, karena dokter tak menawarkan prognosis (ramalan) yang akurat sehingga pasien sering kali telah menerima perawatan lanjutan di rumah sakit.

"Terlalu sering, penyakit lanjut berubah menjadi krisis medis, dan pasien berakhir di ICU," ungkap Ken Jung, co-author penelitian ini seperti dilansir Newsweek.

Jung juga menggarisbawahi bahwa perawatan paliatif lebih dari sekedar perawatan yang diterima saat seseorang sekarat karena harus melibatkan keingin pasien tersebut.

Menurut The National Institute of Health, perawatan paliatif sendiri terjadi melalui rujukan dari tim perawatan primer pasien dan profesional yang bekerja di bidang ini seperti dokter, perawat, hingga ahli gizi.

"Tim perawatan lini pertama mungkin tidak selalu mengenali kebutuhan. Mereka sering fokus menangani keluhan akut yang membawa pasien ke rumah sakit atau mungkin terlalu optimis tentang prognosis pasien tertentu," kata Jung.

Karena hal itu pulalah, Jung dan timnya mengembangkan algoritma kecerdasan buatan yang mempelajari Electronic Health Record (EHR) dari sekitar 2 juta pasien yang dirawat di dua rumah sakit berbeda. Algoritma tersebut menetapkan prediksi kematian pasien dalam tiga hingga 12 bulan ke depan.

"Kami menunjukkan bahwa pengumpulan rutin data EHR dpaat digunakan untuk membuat sebuah sistem yang memprioritaskan pasien untuk melanjutkan perawatan paliatif," jelas para peneliti Stanford seperti dikutip dari The Sun.

"Gagasan di balik penggunaan algoritma ini adalah... jadi spesialis perawatan paliatif dapat menghubungi pasien yang direkomendasilan oleh algoritma untuk evaluasi. Kemudian, tim akan meninjau riwayat kesehatan pasien tersebut dan menghubungi dokter mereka," ujar Jung.

"Baru setelah disetujui, dokter paliatif akan menghubungi pasien tersebut," imbuhnya.

Menangapi temuan ini, Dr Adrian Tookman, Direktur Medis untuk badan amal penyakit mematikan Marie Curie, mengatakan bahwa memprediksi prognosis merupakan hal yang 'sangat sulit'.

"Penelitian kami sendiri menunjukkan bahwa dokter, terlepas dari pengalamannya, berjuang untuk membuat prediksi yang akurat," ujar Tookman yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Namun, dia juga memberikan apresiasi pada penemuan ini. Tookman menyebut temuan ini akan berguna, meski memperkirakan tanggal kematian pasien seharusnya tak jadi satu-satunya fokus.

"Hal yang sebenarnya penting adalah dokter memberikan perawatan paliatif sebaik mungkin berdasarkan kebutuhan individu, terlepas dari berapa lama mereka akan hidup," katanya.

"Kami tahu bahwa perawatan paliatif meningkaykan kualitas hidup pasien, mengurangi rasa sakit, dan dapat membantu beberapa orang hidup lebih lama," imbuh Tookman.

Untuk itu, dia mengatakan bahwa dirinya tertarik untuk mengikuti kemajuan alat yang dibuat para peneliti Stanford ini. Dia juga berharap hal ini memungkinkan percakapan mengenai perawatan paliatif 'sedini mungkin' pada pasien.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar