Laman

Jumat, 20 Oktober 2017

Banderol Lelang Frekuensi 2,3 GHz Terbilang Murah

Banderol Lelang Frekuensi 2,3 GHz Terbilang Murah

INILAHCOM, Jakarta - Penawaran sebesar lebih dari Rp1 triliun dari Telkomsel membuat mereka dipastikan memenangkan lelang untuk frekuensi 2,3 GHz. Ternyata, harga sebesar itu dianggap tidak terlalu mahal

Menurut Chief Economist dari Danareksa, Kahlil Rowter, harga lelang frekuensi radio 2.3 GHz yang dimenangkan oleh Telkomsel terbilang wajar dan relatif murah.

Pengamat ekonomi ini menilai kebutuhan akan frekuensi radio bagi perusahaan telekomunikasi sangatlah besar. Terlebih lagi frekuensi yang dilelang oleh Kemkominfo merupakan sumberdaya terbatas dan kanal terakhir yang tersedia di frekuensi radio 2.3 GHz.

Kahlil optimis dengan menggeluarkan dana Rp1 triliun untuk mendapatkan 30 Mhz frekuensi radio 2.3 GHz, maka potensi pendapatan Telkomsel dikemudian hari akan mengingkat.

"Saya optimis mungkin dalam waktu beberapa tahun saja Telkomsel sudah dapat balik modal. Sehingga masih masuk akal harga lelang yang dimenangkan oleh Telkomsel. Jika dihitung secara cermat maka biaya frekuensi yang dikeluarkan oleh Telkomsel tidak lebih dari 10% persen pendapatannya. Hingga saat ini frekuensi di Indonesia masih terbilang murah dan tak akan membebani konsumen," jelasnya.

Analisa Kahlil tadi bukanlah tanpa dasar. Jika merujuk laporan keuangan Telkom di tahun 2016, disebutkan kepemilikan frekuensi Telkomsel hanya 52.5 Mhz. Pendapatan yang bisa dibukukan dari frekuensi tersebut mencapai Rp 86,7 triliun dengan laba bersih mencapai Rp28,1 triliun.

Sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar frekuensi di tahun 2016 mencapai  Rp3,6 triliun atau setara dengan Rp0,07 per Mhz. Sedangkan harga frekuensi 2.3 Ghz adalah Rp1,007 triliun untuk 30 Mhz atau setara dengan Rp0,033 per Mhz.

Setali tiga uang, Muhammad Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, juga menilai harga frekuensi yang dimenangkan oleh Telkomsel masih lebih murah jika dibandingkan negara di kawasan Asia Tenggara maupun Asia.

“Bahkan harga yang mereka bayarkan bisa lima kali lebih mahal dibandingkan harga frekuensi yang dilelang di Indonesia,”ujar Ridwan.

Karena murahnya harga frekuensi di Indonesia, Kahlil meminta kepada Kemkominfo agar mengikat para operator telekomunikasi dengan komitment pembangunan minimal 10 tahun.

Sehingga pemerintah harus bisa memastikan yang akan memenangkan lelang frekuensi bukanlah broker. Tetapi perusahaan yang benar-benar ingin mengembangkan usaha telekomunikasi di Indonesia.

"Jika dikelola dengan baik maka frekuensi akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, negara dan perusahaan telekomunikasi. Namun jika niatnya hanya untuk dijual kembali maka bisa dipastikan mereka akan mengalami kerugian. Sehingga harus bisa dipastikan perusahaan yang memenangkan lelang frekuensi harus memiliki perencanaan minimal 10 tahun ke depan. Saya berharap lelang frekuensi 2.1 Ghz mendatang juga bisa memberikan harga yang terbaik bagi negara," pungkas Kahlil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar