INILAHCOM, Jakarta -- Niat bangsa Indonesia untuk mengelola tembaga, emas, dan perak di areal pertambangan Erstberg dan Grasberg, Mimika, Papua, yang selama ini dikuasai PT Freeport Indonesia, kerap terganjal permainan perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat (AS) itu. Investor kakap ini tetap ingin menguasai tambang tersebut meskipun sudah 48 tahun berada di sana.
Sudah bertahun-tahun lamanya Pemerintah Indonesia selalu kalah bila berhadapan dengan Freeport. Kini, pemerintah pun dibuat pusing oleh Freeport. Kendati status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sudah diberikan oleh pemerintah, toh, Freeport belum bersedia menerima. Status tersebut mereka anggap belum memberi kepastian fiskal dan hukum. Perusahaan tambang ini menginginkan tingkat kepastian sama dengan Kontrak Karya (KK).
President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson pada konferensi pers hari ini (20/02/2017) mengatakan, Freeport tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri Kontrak Karya (KK) yang diteken pada 1991. Menurut dia, KK tersebut tidak dapat diubah sepihak oleh Pemerintah Indonesia melalui izin ekspor yang diberikan jika beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sekadar mengingatkan, pemerintah beberapa waktu lalu menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minereal dan Batubara (Minerba) serta Praturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 5 dan 6/2017.
Dalam aturan baru tersebut dikatakan bahwa ekspor mineral hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang mengantongi IUPK. Artinya, jika Freeport ingin mengekspor mineral mentah, mereka harus mengubah status KK menjadi IUPK.
Kementerian ESDM sendiri sudah memberikan status IUPK kepada Freeport. Tapi, ya itu tadi, Freeport belum mau menerima. Sebab, Freeport tetap menginginkan pungutan pajak bersifat naildown. Artinya, pungutan fiskal (pajak) bersifat tetap hingga akhir masa operasi. Sedangkan dalam IUPK rezim fiskal fiskal berubah menjadi prevailing alias bisa berubah-ubah mengikuti ketentuan yang berlaku.
Freeport juga menuntut jaminan kepastian perpanjangan masa beroperasi hingga tahun 2041.
Dalam rezim KK, kontrak Freeport di Indonesia akan berakhir pada 2021 dan mereka baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak dua tahun sebelum 2021, atau tahun 2019. Sementara pada PP No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan, perpanjangan operasi sudah bisa diajukan paling cepat 5 tahun dan paling lambat 1 tahun sebelum habis masa berlaku.
Freeport menganggap perubahan status menjadi IUPK telah menghilangkan hak-haknya yang terdapat dalam KK. Bahkan, larangan ekspor konsentrat bertentanggan dengan hak-hak Freeport yang tercantum dalam KK. Pasalnya, dalam kontrak itu disebutkan Freeport dapat melakukan ekspor konsentrat hingga habis masa kontrak. Namun sejak 11 Januari 2017 pemerintah hanya mengizinkan pemegang IUPK untuk bisa mengekspor konsentrat. Pemegang KK masih bisa dapat izin ekspor konsentrat bila mengubah statusnya menjadi IUPK.
Karena merasa ‘dicurangi’, Freepor memberi batas waktu kepada Pemerintah Indonesia 120 untuk berunding dan menghasilkan keputusan. Jika tidak, Freeport akan membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional.
Jangan Mau Disogok
Freeport sudah beroperasi di Indonesia sejak 1967 dengan penandatangan KK Generasi I pada 7 April 1967. Ketika KK II dibuat, 6 tahun sebelum KK I berakhir (1991), bargaining Indonesia sangat lemah. Hampir tidak ada pengawasan pemerintah terhadap produksi tambang ini, karena hanya 29% yang diolah di dalam negeri, sementara 71% langsung dibawa ke luar negeri, diluar pengawasan pemerintah. Bahkan periode sebelumnya, 100% dibawa ke luar negeri, sehingga pemerintah benar-benar tidak mengetahui berapa banyak emas yang dihasilkan Freeport.
Pemerintah juga seakan-akan nggak ngeh kalau emas yang dihasilkan Freeport berasal dari pertambangan tembaga yang dikategorikan sebagai ‘by product’ atau sampingan belaka. Dan, itu terjadi selama 28 tahun sejak mereka menggali di tahun 1967.
Tentu saja, itu berpengaruh pada bagi hasil yang sudah timpang itu. Baru pada tahun 1995, Freeport mengakui emas sebagai galian utama tambang mereka. Bahkan, ladang yang digarap Freeport itu diperkirakan merupakan tambang emas terbesar di dunia. Nilai cadangannya, ditaksir mencapai lebih Rp 1.500 triliun.
Itulah sebabnya, Freeport sangat berkepentingan terhadap tambangnya di Papua. Mereka kerap menekan pemerintah dengan mengancam akan mengurangi produksi, merumahkan karyawan, sampai yang belakangan ini disampaikan akan membawa Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak perlu takut. Kalau Freeport terus memainkan cara-cara seperti itu, sebaiknya biarkan saja. Sampai kapan? Sampai kontraknya habis 2021 nanti. Saat itu, Freeport 100% menjadi milik Indonesia.
Yang penting, pejabat Indonesia tak mudah lemah dengan sogokan. Sebab, itulah salah satu faktor yang selama ini membuat kita lemah dalam mengambil keputusan.[lat]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar