Laman

Minggu, 05 Februari 2017

Google Rayakan Ultah Pramoedya Ananta Toer

Google Rayakan Ultah Pramoedya Ananta Toer

MENDIANG tokoh sastra ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, mendapat penghormatan dari Google. Raksasa internet asal AS itu turut merayakan hari ulang tahun sang sastrawan yang ke-92 dengan tampilan Google Doodle unik di halaman muka mesin pencarinya.

Jika Anda mengakses Google pada hari ini, Senin, 6 Febriari 2017, maka Anda langsung akan menemukan sebuah Google Doodle yang menghadirkan gambar kartun Pramoedya Ananta Toer yang sedang menciptakan karya dengan latar belakang tombol-tombol pada mesin ketik.

Ya, hari ini Google memang turut merayakan hari ulang tahun tokoh legendaris yang akrab disapa Pak Pram itu yang ke-92.

Lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925, Pram secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Sepanjang hayatnya, ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Pram dilahirkan sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama aslinya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.

Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa 'Mas' dari nama tersebut dan menggunakan 'Toer' sebagai nama keluarganya.

Pram muda menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, Pram mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.

Pada 1950-an, ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia, ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia.

Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya berjudul Korupsi, sebuah fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dirinya dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, Pram mulai mempelajari penyiksaan terhadap etnis Tionghoa Indonesia. Kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia.

Pram merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa.

Pada 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis China-nya. Buku-buku karyanya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya ditempatkan di Pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pram sebagai organisasi nasional pertama.

Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pram dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu, Pram menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir.

Ketika Pram mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay.

Mereka tidak setuju, Pram yang dituding sebagai 'jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang' pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepadanya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram pada jaman dahulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan.

Sementara Pram sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Ia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'.

Pram juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan, ia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari karyanya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri.

Sampai akhir hayatnya Pram aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua pekan terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, ia menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang.

Sabtu 29 April 2016, sekitar pukul 19.00 WIB, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup.

Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB.

Setelah itu, beberapa kali Pram kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakannya. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga 30 April 2016 pukul 02.00 WIB.

Saat itu, ia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 wib. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 wib, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006, pukul 08.55 WIB, Pramoedya Ananta Toer wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan.

Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Termasuk para anak muda yang merupakan fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa jasad Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.



1 komentar: