INILAHCOM, Jakarta - Kedatangan layanan seperti Netflix dan aneka jenis layanan aplikasi internet atau VOD OTT di era revolusi industri 4.0 ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi kehadirannya membawa angin segar, tetapi di sisi lain menghadirkan pula kekhawatiran.
Ketua KPI Agung Suprio mengatakan, diperlukan ada proses pengawasan untuk layanan OTT seperti Netflix. Maka peraturan yang berlaku kurang lebih mirip seperti pengawasan terhadap TV berlangganan.
"Kami melihat mekanisme layanan streaming ini sedikit mirip dengan tv berlangganan jadi soal norma sebenernya misal ciuman boleh asalkan jangan menampilkan telanjang maka itu sudah menyalahi aturan terkait pornografi," ungkap Agung, dalam diskusi bertajuk 'Polemik Netflix: Antara Bisnis, Regulasi, dan Norma Sosial' di Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Namun, Agung cukup menyayangkan karena di banyak negara peran pengaturan terhadap layanan streaming seperti Netflix ada di regulator telekomunikasi tetapi harus berkolaborasi dengan lembaga penyiaran, di Indonesia berbeda.
"Nah di Indonesia malah bergerak sendiri-sendiri, KPI-nya sendiri, telekomunikasi-nya sendiri. Di sini ada jadi menimbulkan gap," kata dia.
KPI akan mengawasi media-media baru karena mereka turut bersiaran seperti halnya media-media konvensional. Media-media baru yang dimaksud adalah media-media berbasis internet, seperti Facebook, YouTube, dan Netflix.
Ditambahkan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, sikap preventif KPI ini menurunya perlu juga dilakukan pengawasan dari hulu ke hilir terhadap konten di Netflix bisa dengan adanya badan usaha tetap di Indonesia.
"Karena dengan badan usaha tetap, maka mereka akan patuh dan harus patuh pada aturan lokal. Seperti urusan perpajakan, aturan batasan usia, sensor dan bagaimana mereka juga bisa ikut mencerdaskan bangsa dan memberikan porsi yang cukup besar bagi lokal agar kreativitasnya diakomodasi di Netflix," kata Heru.
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki aturan mengenai konten internet dan film. Untuk internet, ada UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 yang melarang penyebaran konten pornografi, ujaran kebencian, dan semua hal berbasis SARA. Adapun di perfilman ada klasifikasi usia dan sensor.
Heru juga menegaskan, pada dasarnya konten memang bebas namun terbatas. Salah satunya ada batasan usia dan hal-hal yang tidak pantas maka akan disensor.
"Karena tidak semua penonton adalah di atas 17 tahun dan tidak semua film untuk semua umur," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan tempat bagi kreator lokal untuk berkreativitas. Meskipun itu ibarat pisau bermata dua.
"Karena ya jika kalau kebablasan hal yang negatif akan sangat merugikan. Misal konten seks bebas, konten LGBT," ucapnya.
Sementara Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyayangkan para pelaku media OTT seperti Netflix masih belum membuka BUT di Indonesia karena menurutnya hal ini sangat merugikan konsumen dan juga negara.
"Kami minta Netflix indonesia berbadan hukum bukan hanya dikejar dari sisi pajak tapi juga agar bisa dituntut konsumen jika suatu saat memuat konten yang bermasalah," jelas Tulus.
Di kesempatan yang sama, anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, perlunya ada sinergi dengan pemangku bisnis,pemerintah dan juga para masyarakat untuk mengawasi konten-konten dari media digital baru seperti ini.
"Kita menunggu ada paket legislasi, akan lebih lama lagi. Bisa nanti apakah KPI bersama Kemkominfo, atau lembaga lain. Publik pun harus bersinergi untuk mengawasi konten-konten yang hadir atas serbuan fenomena layanan-layanan digital ini," tegasnya.
Sebelumnya diketahui bertolak belakang dengan sikap KPI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim justru menyambut dengan antusias tawaran Netflix, dengan berkolaborasi mendukung pertumbuhan film Indonesia.
Menurutnya kehadiran OTT seperti Netflix bisa membuka jalan bagi produser-produser lokal untuk bisa menawarkan konten-konten mereka ke konsumen di seluruh dunia.
Tayangan Netflix juga telah memproduksi dan menayangkan original movie pertamanya dari Indonesia, The Night Comes for Us. Film orisinal Netflix di Indonesia yang pertama itu disutradarai Timo Tjahjanto. Beberapa pemain Indonesia terlibat, seperti Iko Uwais, Joe Taslim, Hannah Al Rashid, dan Dian Sastrowardoyo.
Demikian, layanan OTT ini memunculkan dualisme sikap. Tentu, pertimbangan akhir yang mesti ditemukan jalan bersama adalah, sejauh mana kehadirannya memberikan kemaslahatan bagi masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar