INILAHCOM, Jakarta - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Agung Setya menyebut bahwa budaya penggunaan software palsu di Indonesia adalah suatu fenomena kebodohan.
"Kebodohan masa lalu saatnya kita tinggalkan. Merugikan Industri dan juga pastinya pengguna itu sendiri," jelas Brigjen Agung saat ditemui INILAHCOM di sela-sela peluncuran Piagam Software Asli (PSA) di Jakarta, Senin (23/10/2017).
Menurut dia, sofware bajakan itu melanggar hak intelektual pemegang hak cipta dan hak konsumen yang perlu dilindungi.
"Karena kami bekerja berdasarkan delik aduan. Tidak bisa serta-merta melakukan penindakan, kendati infrastruktur siber yang dimiliki kami memungkinkan itu," kata Brigjen Agung seraya menambahkan bahwa para pelaku pembajakan memang menghendaki tidak ada kolaborasi aparat dalam menumpas barang palsu, sehingga pergerakan mereka lebih bebas.
Untuk itu, lanjut dia, Polri bersama Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP) dengan Pusat Integritas Digital Asia (ACDI) akan bersinergi dalam mengedukasi mengenai pentingnya menggunakan perangkat lunak asli demi keamanan dari risiko kejahatan siber.
"Dengan kolaborasi yang kita punya, kita akan terus mencari, temukan, dan kita pukul keras kejahatan siber ini," tegas jenderal bintang satu itu.
Tingkat keinginan memakai produk palsu masih tinggi
MIAP dalam sebuah survei bersama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) terhadap 500 responden perusahan di Jakarta dan Surabaya, mendapati masih adanya niat untuk menggunakan produk palsu yang tinggi, terutama keinginan menggunakan produk elektronik 'KW' alias bajakan.
"Kami lakukan studi willingness ke konsumen terhadap tujuh bidang industri. Dari 500 responden, ketika ditanya masih ingin gunakan produk bajakan atau palsu, jawabannya masih. Elektronik bajakan paling diminati hingga 50 persen responden, dikuti software bajakan di level 30-an persen. Ini merupakan angka yang mengkhawatirkan," ungkap Justisiari P. Kusumah, Ketua MIAP.
"Di beberapa perusahaan bahkan ada produk jasa yang dinikmati konsumen. Misalnya di bank, kalau mereka menggunakan sofware bajakan, data nasabah akan sulit dijaga keamanannya, karena ada risiko malware, maka akan merugikan nasabah," sambungnya.
Untuk itu, melalui program PSA ini, perusahaan akan diaudit dan diedukasi soal bahaya penggunaan sofware palsu.
"Kita berharap perusahaan bisa meng-comply, sehingga produknya aman dan saat memasuki pemasaran di negara lain, bisa diakui," pungkas Justisiari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar