INILAHCOM, Jakarta - Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan dalam seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF) bahwa dari elemen DNA (Device, Network, Application), sektor yang tumbuh stagnan hanya network.
“Persoalannya karena business as usual, tidak ada terobosan apa-apa. Jadi perlu usaha meningkatkan affordability atau keterjangkauan,” kata Chief RA, panggilan akrab Rudiantara.
Menurutnya, bagaimana cara menurunkan cost adalah network sharing. Berbagi jaringan menjadi sebuah keniscayaan.
Sebagaimana diketahui bahwa Industri telekomunikasi telah berkembang amat cepat dan memiliki multiplier effect yang sangat besar dan luas.
Di luar pengaruh besarnya ke hampir semua industri lain, tidak bisa dikesampingkan realitas bahwa mayoritas penduduk indonesia dan juga dunia saat ini sangat tergantung telepon seluler yang sudah menjadi salah satu kebutuhan utama sehari-hari.
Merujuk data itu, pertumbuhan telepon seluler di indonesia mencapai 23 persen per tahun. Pada 2015 jumlah telepon seluler mencapai 338 juta, yang berarti rata-rata setiap orang indonesia memiliki 1,3 telepon seluler, sekalipun jumlahnya tidak seimbang antara wilayah pulau jawa dengan di luar jawa.
Di indonesia, secara garis besar rata-rata satu penduduk di pulau jawa memiliki lebih dari satu telepon dan penduduk di luar jawa memiliki kurang dari satu telepon. Rata-rata nasional itu pun masih tergolong sedikit, misalnya dibanding Hong Kong (2,3), Malaysia (3,4) ataupun Singapura (1,4).
Tentunya, lanjut Chief RA, merupakan kewajiban pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur telekomunikasi (serat optik) di luar jawa (Palapa Ring) serta meningkatkan jumlah dan pemakaian telepon dan kecepatan pengiriman data untuk peningkatan perekonomian dan sekaligus demi ketahanan nasional.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah telah menetapkan kebijakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi antara lain melalui proyek Palapa Ring dengan menggunakan system komunikasi kabel laut dan serat optik untuk menyebarkan layanan broadband di seluruh wilayah indonesia dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).
Manfaat kebijakan ini antara lain adalah ketahanan nasional, pemerataan infrastruktur telekomunikasi, penyediaan jasa akses teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tersebar di seluruh wilayah indonesia.
Kebijakan ini sangat tepat karena sebaran infrastruktur saat ini hanya terpusat di jawa. Kebijakan ini tentu tidak bermanfaat maksimal apabila penggunaan infrastruktur tersebut tidak optimal (under capacity) sehingga perlu pula peningkatan jumlah telepon seluler serta penggunaannya.
Namun, dalam praktiknya, menurut salah satu pembicara seminar, Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik, sebagian besar kpbu atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau jawa (80 persen) dilakukan oleh satu operator telekomunikasi.
Pasar telekomunikasi seluler Indonesia saat ini dikuasai (market leader) oleh satu operator, yakni Telkomsel (sekitar 37 persen pangsa pasar). Di bawah Telkomsel terdapat dua operator, yakni Indosat Ooredoo (23 persen) dan XL Axiata (14 persen).
Di bawah tiga operator tersebut terdapat empat operator lagi, seperti Ceria, 3 Hutchinson, Smartfren, dan Bakrie Telecom. Struktur pasar yang demikian mengakibatkan pasar telekomunikasi seluler bersifat oligopoli.
Struktur pasar demikian diiringi adanya keengganan untuk berbagi kapasitas (sharing capacity) dengan operator telekomunikasi lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya.
Oleh karenanya, lanjut Agus, dalam struktur pasar yang oligopolis, dibutuhkan regulasi yang harus dapat mengatur persaingan usaha yang memastikan peningkatan manfaat bagi para pemangku kepentingannya. Bagi masyarakat sebagai konsumen kepentingan terutamanya adalah tarif yang lebih murah dan layanan yang lebih baik. Bagi pemerintah, kepentingan utamanya adalah peningkatan peran industri telekomunikasi, terutama untuk kesatuan wilayah dan perekonomian.
Bagi industri telekomunikasi, kepentingan utama adalah pengaturan persaingan usaha yang sehat, efisiensi industri, mendorong inovasi dan investasi, serta peningkatan kualitas dan return yang lebih baik.
"Solusinya? Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan PP.53/2000 tentang penggunaan spectrum frekuensi radio dan orbit satelit; yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan. Kedua peraturan tersebut tidak memadai lagi dengan perkembangan saat ini,” tegas Agus.
Senada dengan Agus, anggota Wantiknas, Garuda Sugardo, mengatakan bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan revisi terhadap regulasi yang sudah tidak relevan.
Serta kebijakan network sharing merupakan kebijakan yang tepat dan perlu didukung oleh pelaku industri Telko. Jika tidak dilakukan, maka percepatan industri digital di indonesia akan sulit terwujud.
Sementara itu, dari sisi kebijakan, menurut M.Syarkawi Rauf, Ketua KPPU, mengatakan pihaknya concern untuk terus mendorong terhadap pemerintah tentang perubahan dan revisi tarif interkoneksi, tarif off-net, frekuensi dan network sharing.
Pihak KPPU juga sedang melakukan kajian terhadap adanya indikasi monopoli jaringan pita lebar.
Menurut Syarkawi, pihaknya sedang bergerak dan melakukan kajian mendalam terhadap indikasi penguasan dan kecenderungan adanya monopoli jaringan pita lebar oleh salah satu operator selular. Jika hal itu terjadi, lanjut Syarkawi pihaknya tak segan-segan melakukan penegakan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar